Minggu, 02 Desember 2007

EKONOMI PANCASILA DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN

Oleh : A.Ryza Fardiansyah

Diskursus tentang system sebuah Negara tidak akan pernah terlepas dari tiga subsistem yang saling mempengaruhi, yaitu ekonomi, politik dan sistem hukum. System ekonomi dalam hubungannya dengan Negara memberikan pengaruh yang sangat signifikan kepada subsistem yang lainnya. Hal ini dapat ditinjau dari bagaimana ekonomi kemudian dijadikan sebuah alasan yang mempengaruhi perubahan politik dan hukum.

System ekonomi yang berkembang pada sebuah Negara sangat bergantung bagaimana Negara memposisikan dirinya diantara interaksi pasar dan masyarakat. Dalam perspektif ekonomi kapitalisme klasik yang dipelopori oleh Adam Smith pola interkasi yang terjadi antara Negara, pasar dan masyarakat kemudian memposisikan Negara sebagai penjaga malam. Penjaga malam yang dimaksudkan bahwa Negara tidak campur tangan dalam urusan penentuan harga komoditas yang dilakukan oleh pasar kepada masyarakat. Menurut Smith, pasar haruslah diberikan kebebasan dalam penentuan harga ke masyarakat karena ada yang disebut sebagai the invisible hands yang akan membawa harga samapai pada titik equilibrium. Yang berarti bahwa keseimbangan harga merupakan sebuah kepastian mengikuti hukum permintaan dan penawaran.

Konsep perekonomian kapitalisme inilah yang kemudian mempelopori bagaimana seharusnya Negara memposisikan pasar. Untuk sebuah Negara yang berdiri diatas frame ekonomi kapitalis Negara kemudian hanya turun tangan pada permasalahan ekonomi apabila terjadi sengketa antara pasar dan masyarakat. Akan tetapi seiring perkembangan Negara menuju ke arah modernisasi maka kebutuhan masyarakat pun akan semakin bertambah. Konsep modernisasi sebagaimana menurut Rostow, bahwa Negara maju kemudian ditandai dengan pola kehidupan masyarakat dengan kadar konsumsi yang tinggi. Dalam masyarakat modern konsumsi masyarakat pun tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan primer saja. Akan tetapi lebih kepada kebutuhan- kebutuhan sekunder dan tersier. Dalam hal ini ada pergeseran pola kebutuhan dibandingkan dengan masyarakat di Negara berkembang.

Perkembangan dari system ekonomi kapitalis yang memberikan kebebasan pada pasar dan kehidupan Negara maju dimana tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat kemudian membentuk sebuah masalah baru pada model perekonomian Negara. Dimana fenomena monopoli kemudian menjadi sebuah fenomena baru yang semakin menutup kesempatan kepada atau klas masyarakat bawah untuk merubah kehidupannya. Hal inilah yang menurut Keynes merupakan titik dimana setiap Negara harus melakukan campur tangan pada permasalahan ekonomi. Bentuk campur tangan Negara sebagaimana menurut Keynes diwujudkan dengan model kebijakan fiskal sebagai jalur- jalur baru perekonomian sebuah Negara. Kebijakan fiskal kemudian dijadikan harapan baru bagi sebagaian klas masyarakat untuk dapat melihat titik terang ditengah- tengah keserakahan kaum pemilik modal.

Akan tetapi model kebijakan fiskal kemudian yang dikeluarkan oleh Negara kemudian tidak berpihak sedikitpun kepada rakyat. Hal ini dikarenakan kebijakan fiskal yang merupakan bagian dari pelaksanaan pemerintahan sebuah Negara sangat bergantung bagaimana perspektif pemerintah memandang realitas perekonomian negaranya. Dan berimbas pada model kebijakan fiskal yang mengkolaborasikan antara pemerintah dengan kaum pemilik modal. Dalam hal ini kebijakan fiskal dijadikan alat pelegitimasi untuk system ekonomi yang dikuasai oleh kaum pemilik modal.

Di Indonesia hal yang sama juga terjadi. Dimana kita melihat banyaknya ketimpangan- ketimpangan masalah perekonomian yang memeperlihatkan bentuk ketidak adilan yang dilakukan pemerintah. System ekonomi pancasila yang kemudian didengungkan sebagai model perekonomian yang cocok bagi Negara yang berdiri diatas heterogenitas seperti Indonesia sampai hari ini hanyalah sesuatu yang utopis. System ekonomi pancasila yang kemudian lahir dari asas keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia seharusnya teraktualkan dalam model rule based market economic. Yaitu system perekonomian yang berbasis pada aturan hukum. Akan tetapi model Negara kesatuan yang diadopsi oleh Indonesia membawa konsekuensi lain dalam hal ini. Meskipun bentuk pemerintahan Indonesia sudah menganut system otonomi daerah dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 tentang system pemerintahan daerah, akan tetapi dalam masalah ekonomi hal ini belum terealisasikan.

Faktanya bahwa pola pembagian sumber daya alam Indonesia sangat berbanding terbalik dengan model kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam system otonomi daerah kewenangan terbesar kemudian ada ditangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat hanya melakukan bentuk koordinasi berdasarkan strategi pemerintahan yang dibuatnya. Sedangkan system perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 11 tentang dana bagi hasil menunjukkan kontradiksi. Dimana dana Bagi hasil yang dimaksudkan dalam undang- undang ini merupakan APBN yang dialokasikan kepada setiap daerah. Akan tetapi pada pasal 11 menyatakan bahwa dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Hal ini pun berimbas pada model alokasi sumber daya alam Indonesia mengikuti pola tricle dowm effect atau system menetes kebawah.

Kalau dana bagi hasil merupakan pembahasan APBN, dan dana bagi hasil kemudian bersumber dari Pajak dan sumber daya alam maka sumber daya alam setiap daerah harus dikumpulkan dipusat terlebih dahulu. Setelah kemudian terkumpul dan dialokasikan dalam APBN maka pengalokasiannya kemudian harus mengikuti struktur pemerintahan yang ada di Indonesia, yang terdiri dari Pusat, Daerah tingkat I, daerah tingkat II, kecamatan, sampai kelurahan/ desa. Yang berarti setiap tingkatan itu kemudian mendapatkan porsi masing- masing dari dana bagi hasil. Dan menyebabkan tingkat daerah yang terendah kadang jarang mendapatkan porsi yang besar karena telah terpangkas oleh struktur daerah yang lebih diatas.

Sebuah fenomena yang menarik mengingat pusat pengelolaan sumber daya alam pastilah tidak berada di pusat pemerintahan, akan tetapi berada di daerah- daerah terpencil yang merupakan struktur pemerintahan yang paling rendah. Dan daerah tersebut hanya dapat menikmati kurang dari 10% hasil sumber daya alam mereka. Ini dikarenakan pengalokasiannya mengikuti system tricle down effect. Dan semakin menunjukkan bahwa kewenangan pemerintahan di Indonesia merupakan sebuah bentukan piramida yang terbalik dengan system pengelolaan sumber daya alamnya. Jadi jangan heran kalau di Indonesia sebuah daerah penghasil aspal misalnya, sama sekali tidak mendapatkan aspal. Ataukah kalau pun ia dapatkan tentu bukanlah aspal kulaitas utama. Karena hasil aspalnya harus dikumpul dulu dipusat lalu dialokasikan menurut tingkatan daerah. Dan pusat berpeluang menikmati segala macam potensi daerah karena sumber daya alam setiap daerah harus dialokasikan kepusat dulu sebelum dialokasikan ke daerah.

Hal ini kemudian semakin menunjukkan bahwa sebenarnya konsep ekonomi pancasila merupakan hal yang sangat utopis saja. Karena system ekonomi pancasila sama sekali tidak menunjukkan keadilan dan bahkan lebih mirip dengan system ekonomi kapitalisme di Negara- Negara Neoliberalisme yang menunjukkan adanya kolaborasi yang terjadi antara pihak pemerintah dan kaum pemilik modal. Dan ditandai dengan pola distribusi yang sangat bertolak belakang dengan hasil upaya yang dilakukan oleh setiap daerah.

Tidak ada komentar: