Minggu, 02 Desember 2007

EKONOMI PANCASILA DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN

Oleh : A.Ryza Fardiansyah

Diskursus tentang system sebuah Negara tidak akan pernah terlepas dari tiga subsistem yang saling mempengaruhi, yaitu ekonomi, politik dan sistem hukum. System ekonomi dalam hubungannya dengan Negara memberikan pengaruh yang sangat signifikan kepada subsistem yang lainnya. Hal ini dapat ditinjau dari bagaimana ekonomi kemudian dijadikan sebuah alasan yang mempengaruhi perubahan politik dan hukum.

System ekonomi yang berkembang pada sebuah Negara sangat bergantung bagaimana Negara memposisikan dirinya diantara interaksi pasar dan masyarakat. Dalam perspektif ekonomi kapitalisme klasik yang dipelopori oleh Adam Smith pola interkasi yang terjadi antara Negara, pasar dan masyarakat kemudian memposisikan Negara sebagai penjaga malam. Penjaga malam yang dimaksudkan bahwa Negara tidak campur tangan dalam urusan penentuan harga komoditas yang dilakukan oleh pasar kepada masyarakat. Menurut Smith, pasar haruslah diberikan kebebasan dalam penentuan harga ke masyarakat karena ada yang disebut sebagai the invisible hands yang akan membawa harga samapai pada titik equilibrium. Yang berarti bahwa keseimbangan harga merupakan sebuah kepastian mengikuti hukum permintaan dan penawaran.

Konsep perekonomian kapitalisme inilah yang kemudian mempelopori bagaimana seharusnya Negara memposisikan pasar. Untuk sebuah Negara yang berdiri diatas frame ekonomi kapitalis Negara kemudian hanya turun tangan pada permasalahan ekonomi apabila terjadi sengketa antara pasar dan masyarakat. Akan tetapi seiring perkembangan Negara menuju ke arah modernisasi maka kebutuhan masyarakat pun akan semakin bertambah. Konsep modernisasi sebagaimana menurut Rostow, bahwa Negara maju kemudian ditandai dengan pola kehidupan masyarakat dengan kadar konsumsi yang tinggi. Dalam masyarakat modern konsumsi masyarakat pun tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan primer saja. Akan tetapi lebih kepada kebutuhan- kebutuhan sekunder dan tersier. Dalam hal ini ada pergeseran pola kebutuhan dibandingkan dengan masyarakat di Negara berkembang.

Perkembangan dari system ekonomi kapitalis yang memberikan kebebasan pada pasar dan kehidupan Negara maju dimana tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat kemudian membentuk sebuah masalah baru pada model perekonomian Negara. Dimana fenomena monopoli kemudian menjadi sebuah fenomena baru yang semakin menutup kesempatan kepada atau klas masyarakat bawah untuk merubah kehidupannya. Hal inilah yang menurut Keynes merupakan titik dimana setiap Negara harus melakukan campur tangan pada permasalahan ekonomi. Bentuk campur tangan Negara sebagaimana menurut Keynes diwujudkan dengan model kebijakan fiskal sebagai jalur- jalur baru perekonomian sebuah Negara. Kebijakan fiskal kemudian dijadikan harapan baru bagi sebagaian klas masyarakat untuk dapat melihat titik terang ditengah- tengah keserakahan kaum pemilik modal.

Akan tetapi model kebijakan fiskal kemudian yang dikeluarkan oleh Negara kemudian tidak berpihak sedikitpun kepada rakyat. Hal ini dikarenakan kebijakan fiskal yang merupakan bagian dari pelaksanaan pemerintahan sebuah Negara sangat bergantung bagaimana perspektif pemerintah memandang realitas perekonomian negaranya. Dan berimbas pada model kebijakan fiskal yang mengkolaborasikan antara pemerintah dengan kaum pemilik modal. Dalam hal ini kebijakan fiskal dijadikan alat pelegitimasi untuk system ekonomi yang dikuasai oleh kaum pemilik modal.

Di Indonesia hal yang sama juga terjadi. Dimana kita melihat banyaknya ketimpangan- ketimpangan masalah perekonomian yang memeperlihatkan bentuk ketidak adilan yang dilakukan pemerintah. System ekonomi pancasila yang kemudian didengungkan sebagai model perekonomian yang cocok bagi Negara yang berdiri diatas heterogenitas seperti Indonesia sampai hari ini hanyalah sesuatu yang utopis. System ekonomi pancasila yang kemudian lahir dari asas keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia seharusnya teraktualkan dalam model rule based market economic. Yaitu system perekonomian yang berbasis pada aturan hukum. Akan tetapi model Negara kesatuan yang diadopsi oleh Indonesia membawa konsekuensi lain dalam hal ini. Meskipun bentuk pemerintahan Indonesia sudah menganut system otonomi daerah dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 tentang system pemerintahan daerah, akan tetapi dalam masalah ekonomi hal ini belum terealisasikan.

Faktanya bahwa pola pembagian sumber daya alam Indonesia sangat berbanding terbalik dengan model kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam system otonomi daerah kewenangan terbesar kemudian ada ditangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat hanya melakukan bentuk koordinasi berdasarkan strategi pemerintahan yang dibuatnya. Sedangkan system perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 11 tentang dana bagi hasil menunjukkan kontradiksi. Dimana dana Bagi hasil yang dimaksudkan dalam undang- undang ini merupakan APBN yang dialokasikan kepada setiap daerah. Akan tetapi pada pasal 11 menyatakan bahwa dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Hal ini pun berimbas pada model alokasi sumber daya alam Indonesia mengikuti pola tricle dowm effect atau system menetes kebawah.

Kalau dana bagi hasil merupakan pembahasan APBN, dan dana bagi hasil kemudian bersumber dari Pajak dan sumber daya alam maka sumber daya alam setiap daerah harus dikumpulkan dipusat terlebih dahulu. Setelah kemudian terkumpul dan dialokasikan dalam APBN maka pengalokasiannya kemudian harus mengikuti struktur pemerintahan yang ada di Indonesia, yang terdiri dari Pusat, Daerah tingkat I, daerah tingkat II, kecamatan, sampai kelurahan/ desa. Yang berarti setiap tingkatan itu kemudian mendapatkan porsi masing- masing dari dana bagi hasil. Dan menyebabkan tingkat daerah yang terendah kadang jarang mendapatkan porsi yang besar karena telah terpangkas oleh struktur daerah yang lebih diatas.

Sebuah fenomena yang menarik mengingat pusat pengelolaan sumber daya alam pastilah tidak berada di pusat pemerintahan, akan tetapi berada di daerah- daerah terpencil yang merupakan struktur pemerintahan yang paling rendah. Dan daerah tersebut hanya dapat menikmati kurang dari 10% hasil sumber daya alam mereka. Ini dikarenakan pengalokasiannya mengikuti system tricle down effect. Dan semakin menunjukkan bahwa kewenangan pemerintahan di Indonesia merupakan sebuah bentukan piramida yang terbalik dengan system pengelolaan sumber daya alamnya. Jadi jangan heran kalau di Indonesia sebuah daerah penghasil aspal misalnya, sama sekali tidak mendapatkan aspal. Ataukah kalau pun ia dapatkan tentu bukanlah aspal kulaitas utama. Karena hasil aspalnya harus dikumpul dulu dipusat lalu dialokasikan menurut tingkatan daerah. Dan pusat berpeluang menikmati segala macam potensi daerah karena sumber daya alam setiap daerah harus dialokasikan kepusat dulu sebelum dialokasikan ke daerah.

Hal ini kemudian semakin menunjukkan bahwa sebenarnya konsep ekonomi pancasila merupakan hal yang sangat utopis saja. Karena system ekonomi pancasila sama sekali tidak menunjukkan keadilan dan bahkan lebih mirip dengan system ekonomi kapitalisme di Negara- Negara Neoliberalisme yang menunjukkan adanya kolaborasi yang terjadi antara pihak pemerintah dan kaum pemilik modal. Dan ditandai dengan pola distribusi yang sangat bertolak belakang dengan hasil upaya yang dilakukan oleh setiap daerah.

EPISTEMOLOGI

Pengetahuan manusia merupakan sebuah konsepsi yang menjadi topik perdebatan sampai hari ini. Ini kemudian berkenaan bagaimana konsepsi pengetahuan itu hadir dan menjadi tolak ukur setiap orang dalam menyikapi realitas. Pengetahuan manusia memiliki peranan penting dalam sejarah perkembangan manusia. Bagaimana kemudian pengetahuan manusia itu membentuk sebuah sistem kehidupan yang memberikan ciri yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya. Mahluk lain tidak mampu menciptakan sebuah pola kehidupan yang berbeda dengan apa yang dilakukan pendahulunya, akan tetapi manusia kemudian melakukannya. Dari pengetahuan manusia inilah kemudian lahir berbagai macam pola kehidupan yang mewarnai sejarah peradaban manusia. Di setiap zaman kemudian terdapat perbedaan pola kehidupan yang menandakan bahwa pengetahuan manusia tidaklah statis akan tetapi dinamis. Sehingga mampu menciptakan sebuah hal- hal baru.

Akan tetapi perdebatan disekitar wilayah pengetahuan manusia belumlah menemui akhir. Perdebatan yang sangat panjang yang membicarakan bagaimana kemudian manusia mempersepsikan “kebenaran”. Hal ini merupakan hal yang sangat mendasar dari pengetahuan manusia karena tidaklah mungkin kita akan melakukan serangkaian tindakan apapun tanpa harus mengetahui tentang “kebenaran”. Ketidak tahuan akan kebenaran akan membawa seseorang melakukan tindakan tanpa arah dan merupakan sebuah pekerjaan yang sia- sia. Karena ia sendiri tidak bisa menghukumi bahwa apa yang dilakukannya kemudian telah terhukumi benar atau salahnya sebelum menentukan indikator- indikator tentang kebenaran. Kebenaran haruslah mempunyai tolak ukur agar kita bisa melakukan penghukuman pada setiap hal tentang kebenaran atau kesalahnnya. Kebenaran pun merupakan titik awal perjalanan pengetahuan manusia. Manusia yang tidak memiliki titik awal pengetahuan tidak akan mungkin dapat mempersepsikan apapun. Karena persepsi manusia merupakan bentukan pengetahuan yang sudah terhukumi kebenaran ataupun kesalahannya. Oleh karena itu persepsi tidak akan mungkin lahir tanpa adanya kategorisasi kebenaran dalam pemahaman manusia.

Berbagai pakar telah mencoba menetapkan manakah yang dimaksud sebagai kebenaran dan telah berusaha menetapkan kategorisasi kebenaran. Diskursus tentang kategorisasi kebenaran ini pun pada akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang alat apa yang kemudian kita gunakan untuk menentukan kebenaran. Seperti ketika kita ingin mengupas sebuah apel. Kita tentu akan mengatakan benar apabila apel kemudian dikupas dengan pisau. Akan tetapi mustahil kita menggunakan pisau untuk mengupas apel kalau pisau itu sendiri kita belum tahu, atau belum pernah mengetahui manakah benda yang disebut sebagai pisau yang salah satu fungsinya untuk mengupas buah. Oleh karena itu serentetan pertanyaan kemudian muncul tentang alat apa yang kemudian kita gunakan untuk mencari pengetahuan. Alat apa yang kemudian kita tetapkan yang darinyalah kemudian lahir pengetahuan- pengetahuan yang merupakan tolak ukur kebenaran. Alat yang kemudian menentukan asal- usul pengetahuan manusia.

Berbagai tokoh kemudian berusaha untuk menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan yang kemudian melahirkan berbagai macam jawaban yang menghasilkan sejumlah aliran pemikiran dalam persoalan pengetahuan manusia. Setiap aliran pemikiran kemudian menentukan alatnya masing- masing yang darinyalah ditentukan tolak ukur kebenaran. Karena berbagai macam aliran kemudian lahir untuk menjawab pertanyaan ini tentulah tolak ukur kebenaran yang ditentukan tidaklah satu, bahakan lebih dari satu sebagai konsekuensi adanya perbedaan alat yang digunakan untuk memandang pengetahuan manusia. Karena sebenarnya untuk menentukan alat yang digunakan untuk melacak pengetahuan manusia tentulah menggunakan pengetahuan. Pengetahuan yang menentukan sikap setiap pemikir untuk menentukan alat apa yang kemudian digunakan untuk menentukan asal pegetahuan manusia yang darinyalah ditentukan pengetahuan yang menjadi tolak ukur kebenaran. Dalam sejarah perkembangan pengetahuan dikenal kemudian aliran- aliran pemikiran. Yang masing- masing memiliki tolak ukurnya masing- masing dalam menentukan asal- usul pengetahuan manusia.

Karena setiap aliran pemikiran menawarkan konsep kebenaran yang berbeda oleh karena itu perlulah dipaparkan setiap kelemahan dari setiap aliran pemikiran sampai pada aliran pemikiran yang merupakan aliran pemikiran yang tidak terbantahkan lagi. Hal ini dirasakan penting mengingat konsep tentang kebenaran merupakan konsep yang objektif dan tidak terbantahkan. Mustahil pula kita mengakui kebenaran kalaulah kebenaran itu relatif. Karena apabila kebenaran itu relatif maka setiap tindakan manusia akan berjalan tanpa arah. Dan mangakui kebenaran yang relatif sama dengan mengakui bahwa tidak ada tolak ukur kebenaran. Dan tidak adanya tolak ukur kebenaran akan menjadikan setiap tindakan manusia tanpa arah sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal pembahasan. Berikutnya akan dipaparkan berbagai aliran pemikiran dalam sejarah perkembangan pengetahuan manusia.

· Idealisme

Idealime merupakan aliran pemikiran yang dikembangkan oleh Plato (abad ke-5 SM). Plato mengatakan pada dasarnya alam itu terbagi dua : alam ide dan alam materi. Alam ide merupakan sebuah bentukan yang sempurna dan hakiki. Bentukan yang sempurna dan hakiki yang dimaksud bahwa alam ide merupakan alam yang abadi dan merupakan sebuah bentukan yang tidak terikat oleh apapun. Dan jiwa tadinya merupakan bagian dari alam ide. Oleh karena itu jiwa sebelum tebentuknya badan merupakan sebuah bentukan yang bebas sebebas- bebasnya. Plato menyandarkan filsafatnya pada teori tentang pengingatan kembali. Sebuah teori yang menyatakan bahwa informasi- informasi yang diperoleh manusia merupakan bentuk pengingatan kembali informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Plato berpendapat bahwa keazalian jiwa merupakan hal yang pasti karena jiwa tadinya berada di alam ide. Sebuah alam yang sempurna dan hakiki. Ketika jiwa berada di alam ide maka jiwa manusia pun merupakan bentukan yang sempurna dan hakiki. Yang terlepas dari hal- hal material dan mengetahui segala sesuatau tentang materi. Karena alam ide merupakan alam yang lebih sempurna dari alam materi. Alam materi menurut plato pada dasarnya hanyalah hasil refleksi dari alam ide. Sebagaimana refleksi bayangan di cermin dari sang pemilik bayangan. Dengan kata lain bahwa alam materi merupakan bentukan dari alam ide. Karena itu apa- apa yang terdapat di alam materi bukanlah merupakan sebuah bentukan yang hakiki dan abadi. Yang abadi hanyalah alam ide.

Jiwa menurut plato merupakan sebuah bentukan yang sempurna dan hakiki karena jiwa sebelum badan terbentuk masih berada di alam ide. Ketika jiwa berada di alam ide maka jiwa pun akan berbentuk seperti hukum- hukum yang berlaku di alam ide. Hukum yang menyatakan bahwa jiwa memiliki semua pengetahuan sejak ia berada di alam ide. Akan tetapi setelah jasad tercipta di alam materi dan jiwa harus turun dari alam ide kea lam materi dan bersatu kepada jasad. Maka jiwa pun harus tunduk dan patuh kepada hukum- hukum materi. Hukum- hukum materi memberlakukan setiap benda untuk terikat oleh ruang dan waktu. Keterikatan pada konsep ruang dan waktu membuat setiap yang tunduk pada hukum materi menjadi terbatas dan menjadi tidak sempurna, karena harus terbatasi oleh ruang dan waktu tersebut. Jiwa pun demikian, saat jiwa harus bersatu dengan jasad maka jiwa pun harus menjadi sebuah bentukan yang yang terbatas oleh ruang dan waktu, sebuah bentukan yang tidak sempurna. Kesempurnaan jiwa hilang saat jiwa harus bersatu dengan badan. Proses berubahnya jiwa dari sebuah bentukan sempurna ke bentukan yang tidak sempurna inilah yang menyebabkan hilangnya pengetahuan- pengetahuan yang tadinya dimiliki oleh jiwa pada saat di berada di alam ide.

Plato berpendapat bahwa ada gagasan umum yang mendahului penginderaan. Dan pengindraan tidak lebih dari proses melacak kembali gagasan- gagasan universal yang telah lebih dahulu ada pada pemikiran manusia. Pengetahuan partikulir indrawi tidak lebih dari bentuk- bentuk partikulir ide- ide universal tersebut. Oleh karena itu ketika manusia menangkap sebuah objek partikulir indrawi maka konsepsi tersebut mengalami proses abstraksi dalam pemikiran. Proses abstraksi tersebut merupakan proses pelepasan ciri- ciri partikulir pengetahuan hingga menyisakan gagasan abstrak tentang pengetahuan tersebut. Gagasan abstrak ini merupakan sebuah gagasan atau pengetahuan universal terhadap sebuah benda yang berlaku untuk setiap benda dalam bentuknya yang partikulir. Misalnya ketika manusia menangkap konsep tentang kursi yang memiliki ciri- ciri aksidental khusus. Ketika kursi masuk kedalam pengetahuan manusia dengan seperangkat ciri- ciri khususnya maka itu kemudian terpecah di dalam ide. Ide manusia kemudian mampu membagi dan memisah- misah konsepsi kursi dengan warnanya, bahannya, ukurannya, dan ciri aksidental lainnya samapai tersisa bentukan kursi yang abstrak dan universal. Bentukan kursi yang berlaku bagi setiap kursi dimanapun didunia ini. Sebuah konsepsi universal yang merupakan identitas tentang kursi dan yang membedakan kursi dengan benda- benda yang lain. Proses yang seperti inilah yang dimaksudkan oleh plato sebagai bentuk pengingatan kembali. Karena gagasan umum tentang kursi tadi mendahului proses pengindraan sebagaimana lebih dahulunya ide daripada materi. Dan gagasan umum tadi tidak hancur mengikuti hukum- hukum materi sebagaimana hancurnya materi.

Akan tetapi filsafat plato tentang teori pengingatan kembali ini merupakan bentuk bentukan yang tidak begitu akurat dalam menjelaskan tentang asal- usul pengetahuan manusia. Menurut para kritikus plato, pada dasarnya plato mendasarkan filsafatnya atas dua hal. Yang pertama, bahwa jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi dari alam materi. Kedua, bahwa pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan terhadap realitas- realitas yang tetap dialam yang lebih tinggi.

Menurut pra kritikus plato kedua proposisi ini salah. Jiwa dalam arti filosofis- rasional bukanlah bentukan yang terpisah sebelum adanya badan. Akan tetapi jiwa merupakan hasil gerak substansial yang mencapai titik tertentu. Mula- mula jiwa merupakan bagian dari materi dan materi pun mengalami pergerakan. Ketika materi bergerak maka substansi-nya pun mengalami pergerakan. Dengan sarana pergerakan inilah substansi kemudian mengalami proses penyempurnaan sehingga menjadi bentukan inmaterial yang terlepas dari hukum- hukum materi.

Selanjutnya, plato kemudian tidak pernah bias menjelaskan faktor apa yang menyebabkan sehingga jiwa yang tadinya merupakan bentukan yang sempurna harus turun dan menyatu bersama jasad serta tunduk pada hukum- hukum materi. Dalam hal ini mampukah jasad sebagai bentukan yang tidak sempurna menampung jiwa yang sempurna?

· Empirisme

Empirisme adalah pahaman yang mendasarkan bahwa satu- satunya asal pengetahuan adalah pengalaman indrawi. Kaum empirisme percaya bahwa kita hanya dapat mengetahui sesuatu apabila kita telah mengalami pengalaman indrawi terhadap sesuatu tersebut. Oleh karena itu sesuatu itu kemudian dianggap ada ketika punya realitas materi (dalam hal ini dapat terindrai) karena mustahil; untuk melakukan proses pengindraan untuk sesuatu yang tidak memiliki realitas indrawi.

Emipirisme mendasarkan pengetahuannya pada metode observasi dengan menggunakan pla berfikir induktif (khusus- umum).

Hal ini kemudian dimungkinkan, karena kita tidak akan menyatakan bahwa sesuatu itu ada sebelum kita melakukan proses pengindraan padanya. Misalnya, ketika saya kemudian menceritakan kepada orang- orang bahwa di sebelah rumah saya ada seekor domba yang bias mengendarai motor, tentu saja mereka tidak akan percaya sebelum melakukan proses penginderaan terhadapnya. Begitu pun dengan pohon, bahwa kita kemudian bias memastikan pohon ada karena kita melihatnya. Jadi pada dasarnya sesuatu itu dikatakan ada apabila dapat di inderai, dan sesuatu yang tidak dapat di inderai pastilah tidak ada.

Ketika kita mulai menangkap sebuah realitas melalui pengalaman indrawi maka realitas tersebut masuk kedalam akal dan menyisakan form atau bentuknya. Bentuk sebenarnya menurut kaum empirisme merupakan efek dari realitas material tersebut dan bukan merupakan sebuah bentukan yang dilahirkan oleh akal. Karena pada dasarnya akal mustahil untuk mempersepsikan sesuatu apabila tidak ada pengalaman indrawi yang menjadi asal- usul pengetahuan.

Pada dasarnyas kaum empirisme mendasarkan filsafatnya pada dua proposisi pokok yaitu :

1. asal usul pengetahuan adalah pengalaman (pengalaman indrawi)

2. metode untuk mengembangkan pengetahuan melalui observasi dan berfikir induktif (khusus-umum)

maka untuk membantah kaum empirisme kita harus menganalisis kedua proposisi diatas.

Pertama, bahwa asal usul pengetahuan satu- satunya adalah dari pengalaman.

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah pengalaman yang dimaksud termasuk pengetahuan atau tidak? Dalam hal ini apakah kita tahu tentang pengalaman tersebut? Dan pastilah kita mengetahuinya. Kita tahu bahwa hal itu merupakan pengetahuan dan kita memiliki pengetahuan tentangnya bahwa pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman sebagaimana pengalaman yang dimaksudkan oleh kaum empirisme. Pengalaman yang dijadikan titik start untuk mulai melakukan observasi. Jadi pada dasarnya pengalaman tersebut adalah pengetahuan.

Kalau pengetahuan asal- usulnya dari pengalaman dan pengalaman pun termasuk dalam pengetahuan maka pengalaman berasal dari mana? Apakah dari pengalaman atau bukan pengalaman? Dan jawabannya adalah pengalaman. Berarti dalam hal ini ada dua macam pengalaman. Yang pertama adalah pengalaman yang termasuk pengetahuan dan yang kedua adalah pengalaman yang mengawali pengalaman yang termasuk pengetahuan.

Nah, kalau seperti ini apakah pengalaman yang kedua termasuk pengetahuan atau tidak? Dan hal ini akan direntetkan terus menerus samapai tak terbatas. Dan kalau ini terjadi akan tidak terbatas pula pengalaman yang akan muncul. Apabila pengalaman yang akan muncul tidak terbatas maka tidak akan jelas pula yang mana pengalaman pertama yang menjadi asal-usul sebenarnya dari pengetahuan manusia.

Pada dasarnya pengetahuan empirisme terjebak pada hal ini, yang menyebabkan ketidakjelasan pada asal- usul pengetahuannya. Dan mustahil kita akan melakukan observasi apabila asal-usul pengetahuan itu sendiri tidak jelas.

Kedua, untuk mengembangkan pengetahuan menggunakan pola berfikir induktif (khusus-umum)

Hal ini memang berlaku untuk berberapa objek yang termasuk objek material. Akan tetapi akan sangat tidak berlaku pada objek inmaterial. Misalnya kita ingin mengetahui bahwa pada dasarnya apakah manusia suka makan cokelat atau tidak? Perasaan manusia yang ingin di ukur dalam hal ini termasuk dalam objek inmaterial. Dan apabila metode yang digunakan adalah observasi dan berfikir induktif maka akan dilakukan proses polling dengan mengambil sample dari beberapa orang dan merumuskan persentasenya. Apabila dari hasil sample lebih banyak orang yang suka makan cokelat maka dikatakan pada dasarnya manusia suka makan cokelat.

Metode yang digunakan mengambil bentuk partikulir dari sample dan merumuskannya secara universal yang berlaku untuk setiap sample. Akan tetapi apabila contohnya seperti di atas maka terjadi yang namanya overgeneralisasi. Bahwa bukanlah sebuah data yang valid apabila dikatakan bahwa semua manusia suka makan cokelat. Karena sample manusia yang digunakan bukanlah seluruh manusia yang ada di muka bumi ini, akan tetapi hanyalah sebagian kecil manusia saja. Dan ini tidak berlaku pada suatu kelompok manusia yang tidak mengenal cokelat.

Jadi pola berfikir induktif tidak cocok diterapkan untuk objek yang inmaterial karena akan menyebabkan overgeneralisasi. Dan overgeneralisasi tidak dapat mengukur apakah hal itu benar atau tidak.

· Skripturalisme

Skripturalisme adalah pahaman yang mendasarkan asal-usul pengetahuan dan tolak ukur kebenaran pada apa yang tercantum dalam kitab. Biasanya teks atau kitab yang dimaksudkan adalah teks- teks atau kitab suci.

Salah satu ciri pemikiran skripturalisme adalah mempercayai adanya TUHAN sebagai pencipta alam semesta melalui kitab. Bahwa kita kemudian percaya bahwa TUHAN itu ada sebagai pencipta alam semesta karena hal itu ada dalam kitab suci. Berarti membuktikan sebab melalui akibat.

Kita kemudian bias mempertanyakan hal ini, dengan pertanyaan bahwa yang manakah sebagai sebab apakah kitab suci atau TUHAN? Dan jawabannya pastilah TUHAN. Oleh karena itu apabila pembuktian tentang adanya TUHAN melalui kitab suci, maka sama saja dengan kita mengatakan behwa TUHAN itu ada karena adanya kitab suci. Yang berarti kita telah memposisikan TUHAN sebagai ciptaan dan kitab suci sebagai pencipta, karena TUHAN tidak bias ada kalau kitab suci tidak ada, karena hanya kitab sucilah satu- satunya yang bias menjelaskan bahwa TUHAN itu ada.

Dengan pola berfikir skripturalisme maka mustahil kita akan mengatakan kitab suci sebagai ciptaan. Karena tidak mungkin kita akan mempercayai bahwa kitab suci sebagai ciptaan TUHAN tanpa lebih dahulu mempercayai adanya TUHAN sebagai pencipta.

Oleh karena itu pembuktian melalui teks sebenarnya adalah model pembuktian yang sangat lemah. Karena teks pada dasarnya tidak bias berdiri sendiri untuk menjelaskan kebenarannya. Untuk memahami kebenaran dari teks maka kita butuh kepada sandaran lain yaitu akal. Karena pengetahuan teks untuk dikatakan benar pastilah melalui tahap interpretasi, yaitu tahap pengelolaan melalui akal.

· Metafisika Islam

Metafisika Islam adalah aliran pemikiran yang digunakan oleh filosof- filosof Islam. Menurut aliran pemikiran ini kita tidak perlu mengadakan penolakan terhadap empirisme, skripturalisme dan lain- lain. Akan tetapi yang dilakukan hanyalah menempatkan sesuai dengan tempatnya. Kesalahan aliran pemikiran sebelumnya karena alat yang digunakan dijadikan satu- satunya alat dan menafikkan model pengetahuan lain. Dalam kasus empirisme di atas satu- satunya alat yang digunakan hanyalah indera, otomatis dia kemudian melakukan penafian terhadap objek- objek inmateri, misalnya khayalan. Sedangkan dalam kasusu skripturalisme menjadikan teks sebagai satu- satunya sandaran, sedangkan teks tidak bisa menjelaskan kebenaran dirinya sendiri.

Dalam konsep metafisika islam alat yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan dibagi atas dua :

1. primer : Akal

2. sekunder : indera dan kitab

hal ini dikarenakan adanya pengetahuan yang juga berasala dari indera dan kitab. Akan tetapi pengetahuan yang berasal dari indera dan kitab tersebut tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran karena masih merupakan pengetahuan yang belum terhukumi benar atau salahnya (konsepsi). Untuk mengukur benar atau salahnya sebuah pengetahuan maka akan digunakan pengetahuan akal.

Pengetahuan akal yang dimaksudkan dalam pahaman ini merupakan pengetahuan yang memang sudah hadir secara fitrawi dalam diri manusia. Pengetahuan ini pun berlaku untuk semua manusia dan pada dasarnya setiap manusia menggunakannya walaupun secara tidak sadar. Karena pada dasarnya pengetahuan ini merupakan syarat penciptaan alam semesta.

Dalam prinsip Metafisika Islam pembagian alat menjadi dua dikarenakan adanya perbedaan pengetahuan yang muncul dari alat primer dan sekunder tersebut. Disebut sekunder karena pengetahuannya berupa pengetahuan yang belum terhukumi benar atau salahnya (konsepsi). Dalam artian bahwa pengetahuannya tidak dapat menjelaskan kebenaran dirinya sendiri, dan butuh kepada sesuatu yang lain untuk menjelaskan kebenarannya. Sedangkan disebut sebagai primer karena pengetahuannya berupa pengetahuan yang terjelaskan kebenarannya oleh dirinya sendiri. Dalam artian pengetahuan yang tidak membutuhkan sandaran untuk menyatakan kebenarannya, karena sesungguhnya dialah sandaran itu sendiri.

Pertanyaan yang kemudian muncul pengetahuan apakah yang merupakan pengetahuan akal yang digunakan sebagai tolak ukur penilaian? Pengetahuan inilah yang kita kenal dengan kausalitas dan prinsip niscaya lagi rasional (identitas dan nonkontradiksi)

  1. Kausalitas

Hukum Kausalitas adalah Hukum Sebab Akibat. Ada beberapa point penting yang berkaitan dengan hukum sebab akibat, yaitu :

    • Setiap Sebab pasti melahirkan akibat

Bahwa akibat lahir sebagai konsekuensi dari keberadaan sebab. Dalam hal ini keberadaan akibat itu sangat bergantung pada keberadaan sebab. Oleh karena itu pada dasarnya akibat merupakan bentuk ketidak sempurnaan dari sebab, walaupun akibat pasti identik dengan sebab karena bahan dasar akibat berasal dari sebab, akan tetapi akibat mustahil menyamai sebab. Karena akibat memiliki keterbatasan jika dibandingkan dengan sebab. Hal ini dikarenakan keberadaan akibat bergantung pada keberadaan sebab. Oleh karena itu keterbatasan akibat adalah bahwa dia tidak bisa mengadakan dirinya sendiri.

    • Setiap akibat akan menjadi sebab baru bagi akibat yang berikutnya

Hukum sebab akibat menyatakan bahwa setiap akibat pasti akan menjadi sebab untuk akibat yang berikutnya.

    • Setiap sebab pasti selaras dengan akibatnya

Bahwa bahan dasar akbat sebenarnya berasal dari sebab, oleh karena itu seiap akibat pasti selaras dengan sebabnya.

    • Sesuatu yang tidak memiliki mustahil memberi

Jika bahan dasar akibat berasal dari sebab, maka apa yang terjadi pada akibat pada dasarnya merupakan apa yang dimiliki oleh sebab, dan mustahil jika sebab tidak meiliki sesuatu dan sesuatu itu ada pada akibat.

    • Hukum kausalitas merupakan konsep akal, oleh karena itu hukum kausalitas tidak berlaku dalam tataran ruang dan waktu

Bahwa hukum kausalitas tidak berbicara sebab lebih dahulu ada dari akibat, akan tetapi hukum sebab akibat membahas siap yang membutuhkan siapa. Dalam hal ini akibat yang membutuhkan sebab agar akibat itu bisa ada.

    • Hukum sebab akibat meniscayakan adanya sebab awal (prima causa)

Bahwa dalam hukum sebab akibat ada yang dikenal sebagai sebab awal. Pertanyaannya kemudian kenapa sebab awal harus hadir? Untuk menjawab itu maka perhatikan gambar dibawah ini :

Dari gambar di atas maka A berposisi sebagai sebab awal. A kemudian mengakibatkan B, B kemudian Mengakibatkan C, dan C kemudian mengakibatkan D.

Maka sebelum ada C apakah D bisa ada? Jawabnya pasti tidak.

Sebelum adanya B apakah C bisa ada? Jawabnya pasti tidak.

Sebelum adanya A apakah B bisa ada atau tidak? Jawabnya pasti tidak

Maka hukum kausalitas mesti berhenti di satu sebab yang pasti ada yang memberikan kepastian keberadaan untuk semua akibat. Apabila dalam kasus di atas A kemudian disebabkan oleh sesuatu yang tak terhingga maka akan tak terhingga pula ketidak beradaan. Yang menyatakan bahwa semua itu pasti tidak ada. Dan bagaimana mungkin sebuah ketidak beradaan akan menyebabkan sebuah keberadaan? Hal ini pasti mustahil karena sesuatu yang tidak memiliki mustahil memberi.

Hukum kausalitas pun mustahil berbentuk seperti gambar berikut :

Hal di atas pun menjelaskan bahwa A pada dasarnya ada sekaligus tidak ada, karena A sebagai sebab Untuk B, B sebagai sebab untuk C dan C sebagai sebab lagi untuk A. C bagaimana mungkin C akan menjadi sebab untuk A, padahal A tadinya sudah pasti ada. Ketika kita menyatakan bahwa A kemudian diakibatkan maka A tadinya tidak ada sebelum adanya C. nah kalau A tidak ada maka B pun pasti tidak ada. Dan akalu B tidak ada maka C pasti tidak ada. Oleh karena itu Mustahil hukum kausalitas seperti pada gambar di atas.

  1. Identitas

Hukum Identitas adalah hukum yang menyatakan bahwa sesuatu itu hanya sam dengan dirinya sendiri. Bahwa A hanya sama dengan A, dan A mustahil sama dengan Bukan A.

  1. Nonkontradiksi

Hukum Nonkontradiksi berbunyi bahwa sesuatu mustahil menjadi sesuatu yang lain dalam waktu yang bersamaan.

Hukum akal inilah yang kemudian menjadi keniscayaan penilaian dimana setiap sesuatu di alam semesta ini pasti berjalan di atas hukum ini.

Jadi konsep metafisika islam pada dasarnya mengenal dua bentuk pengetahuan, yaitu konsepsi (thasawwuri): berupa pengetahuan yang belum terhukumi benar atau salahnya; dan keyakinan (thasdiq): berupa pengetahuan yang telah terhukumi benar atau salahnya. Untuk lebih jelasnya maka akan dipaparkan beberapa pembagian pengetahuan.

1. Ilmu dari segi asal- usul

Ilmu dari segi asal usul terdiri dari :

· Ilmu Hissi (ilmu panca indra) :

Ilmu panca indra adalah ilmu yang berasal dari alat- alat indra. Ilmu panca indra merupakan pengetahuan yang ditangkap melalui panca indra, oleh karena itu ilmu panca indra terdiri dari :

Ø Penglihatan : warna (merah, putih, hitam, dll)

Ø Pendengaran : suara

Ø Penciuman : bau (harum, Busuk)

Ø Pengecap : rasa (manis, asin, pahit, dll)

Ø Peraba : tekstur (kasar, halus)

· Ilmu Hayal (imajinasi)

Ilmu hayal terdiri atas dua, yaitu persekutuan dan perbandingan. Persekutuan penggabungan dua konsepsi di pahaman dan menghasilkan sebuah konsepsi baru. Namun konsepsi tersebut tidak mempunyai realitas eksternal. Misalnya di pahaman kita menggabungkan antara konsepsi manusia dengan konsepsi laba- laba dan mengahsilkan konsepsi manusia laba- laba. Namun manusia laba- laba ini tidak mempunyai realitas eksternal di luar pahaman.

Perbandingan adalah pengetahuan yang lahir setalah pahaman membandingkan dua buah objek eksternal dan menghasilkan pengetahuan dari perbandingan tersebut. Namun pengetahuan yang lahir dari perbandingan tersebut tidak memiliki realitas eksternal diluar pahaman. Seperti tinggi-rendah, panjang-pendek, dll.

· Ilmu Wahmi

Ilmu Wahmi kadang disebut juga sebagai konsepsi akal jatuh. Disebut konsepsi akal karena memiliki cirri- cirri yang sama dengan pengetahuan akal, yaitu tidak mempunyai bentuk dan warna. Akan tetapi tidak berlaku universal.

Ilmu wahmi seperti benci, marah, sayang, senang, dll.

· Ilmu Akal

Ilmu akal adalah ilmu yang tidak tercampur dengan bentuk dan warna serta berlaku universal. Ilmu akal seperti : kausalitas, identitas dan nonkontradiksi

2. Ilmu dari segi tahapan

Ilmu dari segi tahapan terbagi menjadi ilmu Tahap pertama dan ilmu tahap Kedua.

Ilmu tahap pertama adalah ilmu yang diperoleh dari penca indra. Dalam ilmu tahap pertama ilmu tersebut belum dapat ternilai benar atau salahnya. Karena ilmu tersebut masih berupa konsepsi- konsepsi indrawi.

Ilmu tahap kedua adalah ilmu tahap pertama yang telah dikelola oleh akal. Setelah ilmu tahap pertama masuk kedalam pahaman maka ilmu tahap pertam kemudian dikelola oleh akal dan mengahsilkan ilmu tahap kedua. Jadi ilmu tahap kedua berupa ilmu yang telah terhukumi benar atau salahnya. Hal ini dikarenakan ilmu tahap kedua telah melalui proses penghukuman olah akal.

3. Ilmu dari segi butuh tidaknya kepada pemikiran

Ilmu dari segi butuh tidaknya kepada pemikiran atau tidak terbagi atas : ilmu mudah (dharuri), dan ilmu sulit (nazari). Dikatakan ilmu mudah karena untuk mengetahuinya tidak butuh kepada proses kerja akal, misalnya ketika kita diperlihatkan angka 5, maka kita akan spontan mengatakan bahwa itu lima. Sedangkan dikatakan ilmu sulit karena untuk memahaminya butuh kepada proses kerja akal. Misalnya untuk menjawab pertanyaan ”berapakah jumlah dari 5 x 3245678 ?” maka untuk menjawabnya ini kita butuh kepada pemikiran.

4. Ilmu dari segi keterpisahan antara subjek dengan objek

Ilmu dari segi keterpisahan antara subjek dengan objek terbagi atas dua, yaitu : ilmu hushuli (subjek dengan objek terpisah) dan ilmu huduri (subjek dengan objek tidak terpisah).

Dalam ilmu hushuli subjek dengan objek terpisah. Dalam proses memahami objek keterpisahan antara subjek dengan objek menghasilkan jarak, yang berpengaruh pada proses terpahaminya objek oleh subjek. Adanya jarak akan membuat dalam proses terpahaminya objek masih ada kemungkinan salah, karena objek dalam hal ini bukan merupakan kesatuan dengan subjek.

Sedangkan dalam ilmu huduri subjek dan objek merupakan satu kesatuan, yang menandakan bahwa sudah tidak ada lagi kemungkinan salah dalam memahami objek, karena objek merupakan subjek itu sendiri.