Kamis, 08 Mei 2008

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu ciri Negara Demokrasi, yaitu adanya Pemilihan Umum. Momentum ini pun di klaim sebagai pesta demokrasi dalam sebuah Negara, dimana rakyat sendiri menentukan nasibnya dengan memilih sendiri wakil- wakil yang diharapkan mampu menyuarakan aspirasinya, bahkan untuk memilih sendiri secara langsung pemimpinnya. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 2004, dimana untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih secara langsung Presiden dan Wakil Prresidennya.
Hal ini merupakan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Mengingat pada masa Orde Baru, Indonesia masih melakukan sistem pemilihan yang hanya memilih partai politik yang disebut sebagai representasi dari rakyat dengan mengirimkan figur berdasarkan nomor urut partai yang hampir tidak pernah diketahui susunannya oleh masyarakat untuk duduk di DPR dan MPR yang kemudian berlaku sebagai pemegang otoritas penuh untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden. Pada masa itu masyarakat bahkan tidak mengenal siapa yang kemudian menjadi perwakilan dari partai yang kita pilih. Bahkan ruang yang dibuat untuk interaksi langsung antara masyarakat dan figur yang disiapkan partai untuk menajdi penyampai suara rakyat hampir tidak ada. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu utama yang memunculkan apatisme politik yang menjadi hal paling paradoks ketika berada dalam sebuah Negara yang menjadikan demokrasi sebagai slogannya.
Kondisi ini merupakan sebuah kondisi yang diharapkan oleh pemerintah saat itu. Untuk melanggengkan kekuasaannya maka ia pun menutup rapat- rapat kesempatan bagi munculnya figur yang bisa menggoyahkan kekuasaannya. Dan menjadikan pemilihan umum sebagai formalitas demokrasi yang sebenarnya selama 32 tahun Indonesia diperintah oleh sebuah dinasti. Hal ini terlihat dari terminimalisirnya partai politik peserta pemilu menjadi tiga. Sehingga terjadi pemaksaan paradigma kepada masyarakat Indonesia.
Menurut Huntington, partai politik lahir sebagai cerminan kekuatan sosial yang ada[1]. Maka minimalisir partai politik yang terjadi tidak lebih dari sebuah proses penghancuran kesadaran masyarakat akan status sosialnya dalam sebuah Negara. Dan hancurnya kesadaran rakyat akan status sosialnya dalam sebuah Negara merupakan syarat utama terebntuknya sistem pemerintahan otoriter.
Ciri lain dari sebuah Negara otoriter adalah pemililihan umum tidak menempati posisi sebenarnya sebagai momentum yang menjadi wadah penyampaian aspirasi masyarakat. Malah yang terjadi adalah pemilihan umum termasuk dalam salah satu strategi pemerintah untuk melegitimasi kekuasaannya. Partai politik yang menjadi perserta pemilihan umum pun merupakan partai politik yang menjadi produk buatan pemerintah yang disiapkan sebagai alat pelegitimasi kekuasaan yang paling ampuh. Dan merubah arah interaksi demokrasi yang dari rakyat menjadi dari pemerintah untuk rakyat.
Sistem pemerintahan yang otoriter yang ditampakkan oleh pemerintahan Orde Baru menjadikan segala aspek kehidupan di Indonesia menjadi sangat sentralistik. Sistem politik yang otoriter yang kemudian didukung oleh kekuatan militer dengan penerapan sistem politik paternalistik-militaristik, sistem pemerintahan yang menerapkan sentralisasi dan sistem ekonomi patron client merupakan gambaran umum kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal ini dibarengi dengan sistem pembangunan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dan disertai dengan langkah politik luar negeri yang mengarahkan Indonesia sebagai Negara pemasok sumber daya alam untuk Negara- Negara dunia pertama.
Hal ini ditandai dengan penandatanganan Letter of Intens (LOI) yang menjadi pelegitimasi intervensi asing dan semakin menandakan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap Negara dunia pertama. Dan semakin memberikan ruang kepada Negara dunia pertama untuk menjarah hasil kekayaan bangsa Indonesia. Kemudian memaksa Indonesia masuk kedalam krisis multi dimensional yang seakan menjadi labirin tanpa batas dan menempatkan jalan keluar pada posisi yang hampir utopis.
Keadaan inilah yang menjadi isu utama lahirnya gerakan reformasi 1998 untuk meminta pertanggung jawaban atas keadaan yang terjadi. Reformasi 1998 berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan memaksa Presiden untuk turun dari jabatannya. Inlah gerakan yang di klaim sebagai gerakan rakyat dan diharapkan membawa angin segar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Masa reformasi kemudian menyeret bangsa ini memasuki masa transisi. Isu utama yang menjadi frame perubahan adalah sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, sistem politik dari otoriter ke demokrasi dan sistem ekonomi dari patron client ke rule based market economy.
Berbagai perubahan kemudian mulai tampak pada masa ini. Pers dibebaskan, partai politik yang menjadi peserta pemilu pun bertambah, otonomi daerah serta pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung. Namun apakah perubahan yang terjadi pada masa reformasi merupakan sebuah perubahan kearah yang positif? Apakah perubahan tersebut mencerminkan demokratisasi? Ataukah perubahan kearah desentralisasi akan memunculkan pertarungan baru bagi segelintir orang untuk menjadi penguasa di daerahnya masing- masing? Yang dalam hal ini hanya memunculkan raja- raja kecil di setiap daerah. Dan apabila ini terjadi tentu saja akan menarik kembali bangsa ini kepada ranjau transisi yang memungkinkan tidak berjalannya cita- cita reformasi sesuai yang diharapkan.
Hal ini akan terjawab dengan sendirinya apabila kita telah mengetahui hakikat sebuah system sesungguhnya. Perlu di ketahui bahwa reformasi merupakan perubahan sistem. Dan sebuah system tidak akan pernah sampai pada tujuannya tanpa seseorang yang mampu menjalankannya. Disinilah peran seorang pemimpin ditentukan. Apakah pemimpin hari ini merupakan seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini ke tujuan reformasi yang dicita- citakan? Apakah kemudian yang dimaksudkan dengan pemimpin? Dan apakah pemimpin dapat lahir dari sebuah pemilihan umum? Kalau iya, model pemilihan umum seperti apa? Dan harus dimulai dari mana untuk mewujudkannya?
Inilah latar belakang sebenarnya dari bangsa ini. Bangsa ini telah sekian lama berdebat tentang bagaimana sistem ketatanegaraan yang baik, akan tetapi melupakan hal yang paling penting. Yaitu, bagaimana menciptakan seorang figur pemimpin yang dapat menjalankan sistem tersebut. Karena tanpa pemimpin sistem akan berjalan dengan sia- sia.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
1. Apa hakekat pemimpin sebenarnya?
2. Dan apakah kepemimpinan yang dicita- citakan dapat terwujud melalui sebuah pemilihan umum?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah :
1. Membahas makna kepemimpinan secara filosofis.
2. Sebagai bahan pengkajian tentang kepemimpinan
3. menawarkan sebuah solusi permasalahan kepemimpinan di Indonesia.

BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Falsafah Kepemimpinan
Apakah yang dimaksud dengan pemimpin? Ini merupakan pertanyaan awal yang jawabannya tentu saja membahas hakekat pemimpin yang sebenarnya. Pengertian tentang pemimpin dapat kita tinjau melalui segi etimologi dan terminologinya.
Pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti bimbing atau tuntun[2]. Dalam hal ini kata pimpin meniscayakan adanya dua pihak, yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. Dan adanya pola interaksi yang terjadi antara yang dipimpin dan yang memimpin. Istilah kepemimpinan merupakan sebuah istilah yang lahir berdasarkan kata pimpin tersebut. Oleh karena itu kepemimpinan lebih berarti sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk memepengaruhi pihak yang dipimpin agar melakukan tindakan- tindakan yang ditentukan oleh sang pemimpin.
Banyak fenomena yang menjadi tema- tema diskursus tentang kepemimpinan. Masalah inipun kemudian akan menjadi sebuah pembahasan yang cukup menarik apabila kita menelaah setiap tingkah laku manusia menyikapi persoalan kepemimpinan ini. Seperti misalnya tingkah laku sekelompok masyarakat yang kemudian rela menyerahkan semua apa yang dimilikinya demi penghormatan kepada sang pemimpin. Mereka bahkan menempatkan seorang pemimpin pada status sosial yang sangat tinggi dibandingkan dengan manusia- manusia yang lain.
Namun ada juga sekelompok masyarakat yang menganggap seorang pemimpin tidak lebih dari sebuah posisi tertentu yang lahir dari kesepakatan bersama seluruh anggota masyarakat. Dalam perspektif ini pemimpin kemudian tidak lebih dari pelimpahan tugas dan tanggung jawab yang dihasilkan dari sebuah perjanjian antara seorang individu sebagai calon pemimpin dengan sekelomp[ok masyarakat.
Dilain pihak, ada juga orang-orang yang tidak sepakat dengan adanya pemimpin dalam bentuk apapun. Orang- orang seperti ini kemudian berpendapat bahwa titik masalah yang lahir dari kehidupan bersama karena adanya pemimpin. Jadi pemimpin dinilai sebagai sumber masalah dalam sebuah bentuk kehidupan bersama. Pandangan ini sebenarnya belum pernah terwujud dalam sebuah bentuk kehidupan yang riil dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah belum pernah mencatat adanya bentuk kehidupan yang seperti ini. Ide yang seperti ini kemudian lahir dari orang- orang yang merasa resah dengan konsep kepemimpinan dimana ia berada.
Dari penjelasan ini kita dapat melihat tiga pandangan besar yang berbicara tentang kepemimpinan. Ada yang menyatakan bahwa pemimpin itu merupakan sebuah keharusan dari bermasyarakat. Ada berpendapat bahwa pemimpin itu tidak lebih dari hasil kesepakatan bersama. Dan adapula yang menganggap bahwa pemimpin sama sekali tidak dibutuhkan bahkan harus dihilangkan dalam pola kehidupan bersama.
Kepemimpinan merupakan sebuah term yang sangat erat kaitannya dengan manusia dan masyarakat. Manusia sebagai pihak yang menyandangnya sedangkan masyarakat sebagai objek dimana kepemimpinan itu berlaku. Dalam hal ini kepemimpinan merupakan sebuah hal yang tidak akan terpahami tanpa membahas kedua hal tersebut. Dan perbedaan pandangan tentang kepemimpinan sebenarnya lahir dari perbedaan pandangan dalam melihat masyarakat.
Menurut Murtada Muthahhari, ada empat paradigma besar tentang masyarakat[3]. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya tidak ada, karena masyarakat merupakan sebuah istilah sintesis[4]. Sedangkan dalam hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain tidak pernah saling melebur. Kedua, adalah pandangan yang berpendapat bahwa sintesis yang terjadi dalam masyarakat terjadi. Tapi bukanlah sintesis fisik. Melainkan sistesis fungsi antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagaimana dalam sebuah mesin, berbagai perangkat di dalamnya tidak pernah kehilangan identitasnya ketika tergabung di dalam mesin. Akan tetapi yang terjadi penggabungan fungsi antara berbagai perangkat ketika tergabung dalam sebuah mesin. Ketiga, pandangan yang meyatakan bahwa masyarakat merupakan sebuah senyawa sejati. Dalam pandangan ini individu merupakan hasil reaksi dari masyarakat. Bahwa individu tidak lebih dari penerjemahan hak- hak kemasyarakatan dalam ranah soisal. Keempat, bahwa individu dan masyarakat sama- sama merupakan dua buah unsur yang sejati. Masyarakat merupakan sebuah bentukan yang lahir sebagai pengaktualan jiwa bersama dari individu. Keberadaan masyarakat merupakan sebuah hal yang bersifat fitrawi dan tidak terlepas dari eksistensi individu itu sendiri.
Pandangan pertama menyatakan bahwa masyarakat itu tidak ada yang ada hanyalah individu- individu. Oleh karena itu menurut pandangan ini system kepemimpinan dalam sebuah masyarakat bukanlah merupakan sebuah hal yang niscaya. Karena keberadaan pemimpin dalam masyarakat merupakan sebuah hal yang malah membatasi dan menghilangkan hak- hak kepribadian yang dimiliki oleh manusia. Hilangnya hak-hak pribadi tersebut secara langsung akan menghilangkan peran dari setiap individu. Yang menyebabkan individu sama dengan tidak ada. Dan tidak adanya individu meniscayakan pula tidak adanya masyarakat. Pandangan inilah yang kemudian terjewantahkan dalam bentuk demokrasi liberal.
Bagi Hegel, manusia memiliki perasaan untuk diakui oleh orang lain[5]. Perasaan ingin di akui ini sebenarnya muncul dari bagian jiwa manusia yang disebut sebagai gairah[6]. Dan gerak masyarakat ini sebenarnya didasarkan oleh perasaan ingin diakui ini. Bahwa manusia hidup berkelompok, malakukan perang dan berbagai macam bentukan sejarah yang terbentuk sepanjang cerita tentang kehidupan manusia itu lahir karena adanya hal ini. Oleh karena itu Francis Fukuyama, menyatakan bahwa akhir dari sejarah perkembangan manusia merupakan sebuah masyarakat dimana hak-hak individu itu dapat terjamin dengan sendirinya yang disebut dengan konsep demokrasi liberal.
Dalam konsep demokrasi liberal, hak individu diberikan kebebasan sebebas- bebasnya. Maka, jika sebuah masyarakat yang berdiri di atas dasar demokrasi liberal memiliki pemimpin. Pemimpin tersebut pastilah otoriter, karena yang ada lebih dahulu adalah hak- hak individu. Dan pemimpin tersebut pastilah mendahulukuan hak individunya. Dan akan membunuh hak- hak individu yang lain. Oleh karena, demokrasi liberal hanya akan mengarahkan pada sabuah konteks kemasyarakatan tanpa pemimpin.
Dalam pandangan kedua, bahwa masyarakat terbentuk tidak lebih dari sebuah sistem yang lahir karena adanya perjanjian bersama antara beberapa individu untuk menjalani kehidupan bersama. Dalam pandangan inipun pemimpin lahir karena hal yang sama. Pandangan inilah yang mendasari konsep lahirnya sistem Negara berdasarkan kontrak politik, sebagaimana yang dipaparkan oleh John Locke[7].
Banyak Negara- Negara di dunia yang menempatkan falsafah ini menjadi dasar system kepemimpinannya. Dasar inilah yang menyebabkan adanya system pemilihan umum untuk memilih pemimpin tertinggi dalam sebuah Negara. Akan tetapi kelemahan konsep ini bahwa dalam hubungan antara individu pada konteks kemasyarakatan tidak lebih dari sebuah perjanjian yang lahir untuk hidup bersama. Akan tetapi dalam realitas yang terjadi konsep pemilihan umum tidak lagi mendasarkan pada adanya falasafah perjanjian hidup bersama tersebut.
Hal ini dikarenakan tidak adanya sebuah jaminan yang bisa menjadi pelegitimasi bahwa konsep perjanjian bersama itu meupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Jadi ketika pemimpin itu kemudian menduduki kekuasaannya dialah yang kemudian membuat aturan- aturan untuk megendalikan kehidupan sosial kemasyrakatan yang sesuai dengan kepentingannya. Karena hukum dalam segala bentuknya merupakan alat pelegitimasi kepentingan[8]. Dan salah satu fungsi hukum sebagai tools of social engineering[9].
Merupakan sebuah hal yang sama saja dengan pandangan pertama, karena masyarakat merupakan sebuah sistem yang tetap ada sebagai sebuah fungsi untuk melegitimasi hak individu. Kepemimpinan dalam pandangan ini merupakan sebuah hal yang lahir dari kesepakatan bersama setiap anggota masyarakat.
Dalam pandangan ketiga bahwa kepemimpenan merupakan sebuah otoritas mutlak dalam sebuah sistem kemasyarakatan. Sebuah otoritas yang lahir dari sebuah konsep tentang masyarakat sebuah bentukan senyawa sejati yang kemudian menjadi pelegitimasi utama munculnya hak- hak individu. Dan pemimpin merupakan represetasi langsung dari sistem kemasyarakatan ini. Pandangan inilah yang kemudian mendasari terbentuknya Negara- Negara sosialisme. Dalam konsep Negara sosialis segala bentuk hak yang ada merupakan hak Negara. Dan seorang pemimpin merupakan orang yang paling memiliki hak untuk mendistribusikan hak tersebut sampai pada tataran individu.
Akan tetapi konsep inipun tetap terbentur pada masalah konsep pertanggung jawaban. Dalam sistem Negara sosialisme tidak adanya bentuk pertanggung jawaban yang jelas yang bisa menjadi pelegitimasi adanya konsep keadilan dalam distribusi hak tersebut. Inlah hal utama yang menyebabkan Negara- nagara sosialisme yang pernah ada akan berujung pada konsep totalitarianisme.
Dalam pandangan keempat bahwa masyarakat merupakan sebuah hal yang fitrawi ada karena adanya individu. Dalam pandangan ini bahwa masyarakat merupakan sebuah pengaktualan jiwa bersama yang dimiliki oleh setiap individu. Dan pemimpin yang lahir dari konsep ini merupakan sebuah pemimpin yang kemudian menyadari adanya konseo jiwa bersama ini. Pandangan ini merupakan pandangan konsep kenegaraan wilayah- al faqih yang dirumuskan oleh ayatollah Khomeini[10].
Dalam pandangan ini bahwa system kepemimpinan merupakan sebuah tanggung jawab spiritual yang lahir sebagai konsekuensi kemanusiaan. Bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk yang berpotensi menjadi pemimpin alam semesta. Kehidupan manusia baik secara individu maupun secara social kemasyarakat merupakan sebuah hal yang tidak lepas dari permasalahan fitrawi penciptaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu masalah kepemimpinan dalam kehidupan social perlulah memasukkan nilai- nilai spiritual sebagai aspek penggerak dan sebagai falasafah dasar pertanggung jawaban kepemimpinan secara transcendental. Maka seorang pemimpin haruslah memiliki kesadaran eskatologis.
Kesadaran eskatologis akan menciptakan kesadaran bagi seorang pemimpin bahwa antara individu dan masyarakat bukanlah merupakan suatu hal yang terpisah dalam perspektif penciptaan. Dan seorang pemimpin yang lahir tanpa adanya kesadaran eskatologis akan tetap menganggap bahwa ada keterpisahan antara hak individu dan hak masyarakat. Dan secara fitrawi pula dia akan lebih memprioritaskan hak individu dari pada hak masyarakat.
Dalam pandangan ini pun pemimpin ada dua bentuk. Pemimpin sosial dal pimipin spiritual. Pemimpin sosial merupakan pemimpin yang memiliki fungsi untuk menjalankan permasalahan sosial kenegaraan. Dan pemimpin spiritual merupakan pemimpin tertinggi yang bertanggung jawab secara transendental mengenai arah gerak kehidupan bersama. Dalam sistem ini konsep kepemimpinan menjadi hierarki. Pemimpin sosial berada di bawah pemimpin spiritual. Hirarki dalam hal ini merupakan jalur pertanggung jawaban. Bahwa pemimpin sosial bertanggung jawab kepada pemimpin spirirtual. Tapi hirarki tidak dalam konteks pemilihan pemimpin. Pemimpin sosial dipilih melalui sebuah pemilihan umum. Sedangkan pemimpin spiritual dipilah melalui sebuah mekanisme khusus berupa penunjukan langsung dari pemimpin spiritual sebelumnya. Konteks kepemimpinan spiritual dalam hal ini malakukan peran seperti konteks kenabian dan imam.
Dasar pandangan ini adalah adanya kesamaan pemikiran tentang arah gerak kemasyarakatan. Syaratnya bahwa system kepemimpinan ini tidak dibentuk berdasarkan paksaan langsung sang pemimpin spiritual. Akan tetapi baru bisa terwujudkan atas dasar pilihan sadar masyarakat untuk menyatakan bahwa pemimpin spiritual memang pantas untuk berada pada posisi tersebut. Oleh karena itu, konsep kepemimpinan ini merupakan konsep kepemimpinan yang lahir dari sebuah konsep kemasyarakatan dimana setiap anggota masyarakatnya memiliki kesadaran eskatologis.
Dan pemilihan umum untuk memilih pemimpin social pun tetap akan menjamin terpilhnya seorang pemimpin yang berkualitas. Karena system yang terbangun merupakan sebuah sistem kemasyarakatan yang memiliki konsep kesadaran yang tinggi. Iran terkenal sebagai Negara yang memiliki tingkat kesadaran politik paling tinggi. Hal ini terbangun karena sistem kehidupan di iran merupakan sebuah system kehidupan yang berasal dari sebuah konsep revolusi paradigmatik. Dan sistem pun berjalan atas dasar mencerdasakan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pemimpin sosial yang dipilah melalui pemilihan umum dipilah oleh masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran politik paling tinggi.
Maka tidak perlu diragukan lagi seorang pemimpin yang mandiri, berkualitas dan bermartabat akan lahir dari sistem kemasyarakatan yang mendasarkan geraknya kepada peningkatan intelektual dan spiritualitas.
2.2 Pemilihan umum; sebuah solusi kepemimpinan atau tidak?
Pemilihan umum sebenarnya hanyalah merupakan sebuah sistem untuk memilih seorang pemimpin. Dalam hal ini paradigma kita dalam memandang pemilihan umum bukanlah sebagai sebuah hal yang bersifat solutif. Karena permasalahan sebenarnya bukanlah terletak pada pemilihan umum itu sendiri. Akan tetapi kepada individu- individu yang menggerakkan sistem tersebut.
Pemilihan umum akan menjadi sebuah makanisme yang dapat melahirkan seorang pemimpin yang mandiri, berkualitas dan bermartabat apabila pemilihan umum berada pada sebuah konteks kemasyarakatan yang memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi. Di Indonesia misalnya, pemilihan umum dalam bentuk apapun tidak akan pernah mewujudkan seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini sampai tewujudnya cita- cita reformasi apabila warga masyarakat yang menjadi peserta pemilihan umum bukanlah orang yang memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi. Yang terjadi malah masyarakat tidak bisa menilai sendiri manakah pemimpin yang memang betul- betul dibutuhkan oleh bangsa ini. Karena tujuan gerak dari sistem sangat tergantung dari aktor yang menjalankannya.
Pembangunan konteks kesadaran masyarakat ini haruslah dimulai dari reformasi konsep pendidikan. Karena posisi pendidikan dalam sebuah Negara sebenarnya sebagai ranah penanaman ideologi. Dan tingkat kesadaran politik masyarakat pada sebuah Negara dapat kita lihat pada konsep pendidikannya. Apabila masyarakat memiliki sebuah konsep pendidikan yang bagus, maka pastilah memiliki masyarakat dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi. Hal ini dapat kita lihat pada Negara- Negara maju yang memiliki konsep pendidikan yang bagus, misalnya iran yang menerapkan pemerataan pendidikan samapai masyarakat kelas terbawah. Dengan hal ini pemilihan umum dapat lahir sebagai sebuah sistem yang solutif mengenai masalah kepemimpinan ini.
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa paradigma pemimpin tidak pernah terlepas dari paradigma tentang kemasyrakatan. Dan konsep kepemimpinan merupakan hal yang niscaya ada sebagai konsekuensi dari masyarakat. Karena masyarakat pada dasarnya merupakan hal yang fitrawi maka seorang pemimpin pun haruslah memiliki kesadaran eskatologis. Sehingga bentuk pertanggung jawabannya dilakukan atas dasar transcendental dan sosial kemasyarakatan. Pemimpin yang tidak memiliki kesadaran eskatologi tidak memiliki bentuk pertanggung jawaban transendental, sehingga konsep keadilan yang diterapkannya adalah penafsiran keadilan menurut perspektif individunya. Dan pastilah bercampur dengan kepentingan individunya.
Bahwa pemilihan umum dapat dijadikan sebagai sebuah langkah solutif untuk menjawab permasalahan kepemimpinan apabila pemilihan umum diterapkan pada sebuahg system kemasyarakatan yang memilki tingkat kesadaran politik yang tinggi. Dan untuk membangun itu diperlukan sebuah system pemerataan pendidikan dan konsep pendidikan yang baik pula. Sebagai jalan utama pembentukan paradigma masyarakat.


3.2 Saran
Untuk konteks ke Indonesiaan, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah upaya- upaya untuk melakukan revolusi paradigmatic. Hal ini merupakan sebuah langkah penting yang bertujuan untuk merubah paradigma masyarakat dalam usaha menciptakan masyarakat dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi.
Jalan ini dapat ditempuh dengan merumuskan sebuah konsep pendidikan yang sesuai dengan konsep masyarakat Indonesia. Hal ini penting mengingat konsep penanaman ideologi akan lebih efektif ketika diterapkan pada ranah- ranah kultural. Karena ideologi itu sendiri akan lebih berarti ketika teraktual dalam bentuk tingkah laku.
Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan pemimpin yang mandiri, berkualitas dan bermartabat harus dimulai dari pembangunan konsep pemikiran masyarakat tentang arti dari kemandirian, kualitas dan martabat dan kaitannya dengan diskursus tentang nilai- nilai kemanusiaan.
[1] Samuel P. Huntington, 2003, Tertib Politik, halaman 11
[2] Inu Kencana Syafi’ie, 2003, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, halaman 1
[3] Murtada Muthahhari,1993, Masyarakat dan Sejarah, halaman 20
[4] Sintesis adalah peleburan dua unsur atau lebih dan menghasilkan unsur baru. Dimana pada saat peleburan tersebut unsur melebur saling melepaskan identitasnya masing- masing. Sehingga menghasilkan sebuah unsur baru yang memiliki ciri- ciri yang berbeda dari yang pertama. (Murtada Muthahhari, 2001, Manusia Dan Alam Semesta, halaman 115)
[5] Pandangan ini merupakan pandangan Hegel yang dipaparkan oleh Francis Fukuyama. (Francis Fukuyama, 2004, The End of History and The Last Man, halaman 8)
[6] Plato membagi tiga bentuk jiwa, nafsu(hasrat), akal, dan gairah (thymos). Pandangan ini dipaparka oleh plato dalam Republica. (G.C Filed, A Philosophy of Plato)
[7] G. Sabine, A History of Political Theory
[8] Pramudya, 2007, Hukum Itu Kepentingan
[9] Ahmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, halaman 23
[10] Ayatullah Khomeini, 1974, Wilayah Al- Faqih

Kamis, 27 Maret 2008

REALITAS ADALAH CIPTAAN

Ketika pengetahuan kita menangkap objek dari realitas, maka seketika itu pula pahaman akan menghadirkan gambaran dari objek tersebut. Akan tetapi sifat dari gambaran objek yang ada di pahaman memiliki sifat yang berbeda dengan objek yang berada di luar. Hal ini dikarenakan proses terpahaminya pengetahuan tentang objek melalui tahap abstraksi yang dilakukan oleh pahaman. Tahap ini adalah tahap dimana pahaman melepaskan sifat- sifat material dari objek dan mengubahnya menjadi gagasan- gagasan tentang sifat- sifat tersebut. Gagasan ini merupakan pengetahuan tentang objek diluar pahaman. Dan gagasan ini tidak memiliki sifat seperti objek yang berada di luar pahaman. Sebagai contoh, ketika pahaman mengetahui tentang api, maka pahaman pun dapat menghadirkan gambaran tentang api beserta gagasan tentang ciri- ciri yang dimiliki oleh api berdasarkan atas sifat api diluar pahaman. Kalau diluar pahaman api bisa membakar, maka didalam pahaman sifat membakar yang dimiliki oleh api hanya sebatas gagasan yang menggambarkan sifat tersebut. Dan api di dalam pahaman tidak betul- betul membakar seperti api yang berada di luar pahaman. Inilah yang dimaksudkan dengan proses abstraksi. Yaitu proses pengubahan sifat- sifat objek diluar pahaman menjadi gagasan tentang sifat- sifat tersebut didalam pahaman.

Proses abstraksi pengetahuan yang terjadi di dalam pahaman kemudian memungkinkan manusia untuk mengetahui objek yang lebih luas dari kajian empiris. Kaum empiris mempercayai bahwa manusia hanya dapat mengetahui pengetahuan yang bersifat inderawi. Dalam hal ini kaum empiris tidak mengakui kemampuan manusia untuk mengetahui objek pengetahuan yang bersifat metafisis. Pesismisme ini kemudian lahir karena kaum empiris tidak mengetahui dimana harus memposisikan akal. Sehingga ketika semua bentuk pengetahuan dikembalikan kepada ranah- ranah inderawi tertutuplah kemungkinan untuk mengetahui berbagai macam objek non materi. Karena indera hanya mampu memahami objek- objek material tanpa bisa menangkap gagasan- gagasan nonmaterial.

Proses abstraksi dalam pahaman ini kemudian terus berlangsung sampai tepahaminya sebuah gagasan universal yang merupakan unsur pembentuk utama realitas. Maksudnya, akal dapat menguraikan setiap pengetahuan tentang objek sampai menemukan gagasan universal yang berlaku pada setiap objek di realitas. Gagasan universal ini kemudian merupakan hal yang harus ada pada setiap realitas, apakah dia materi maupun nonmateri.

Muncul kemudian pertanyaan. Apakah gagasan universal ini hanya ada dalam pahaman dan tidak ada diluar pahaman? Ataukah dia ada di dalam dan di luar pahaman?

Sebagaimana kita ketahui bahwa pengetahuan yang diabstraksikan di dalam pahaman berasal dari objek di luar pahaman. Oleh karena itu, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa gagasan universal yang diperoleh dari hasil abstraksi di dalam pahaman haruslah ada diluar pahaman. Hal ini dikarenakan gambaran yang terabstraksikan merupakan gambaran objek di luar pahaman. Dan abstraksi sebagaimana yang telah dijelaskan hanyalah proses menguraikan segala macam pengetahuan tentang objek. Jadi hasil abstraksi tidak lebih dari proses penemuan unsur yang tersembunyi dibalik realitas yang tidak bisa diuraikan secara empiris.

Unsur pembentuk utama realitas ini adalah eksistensi dan esensi. Bahwa setiap realitas tersusun atas eksistensi dan esensi. Eksistensi adalah keber-Ada-an, sedangkan esensi adalah ke-Apa-an nya. Dalam hal ini apapun bentuk realitas itu, apakah dia materi atupun non materi pastilah tersusun atas ada dan apa. Yang berarti realitas itu memiliki unsur Ada dan Apa. Eksistensi sebagai keberadaan realitas dan esensi sebagai keapaannya haruslah dimiliki oleh realitas diluar pahaman. Karena kalau realitas luar pahaman tidak memiliki salah satunya maka kita tidak akan mungkin menyatakan bahwa realitas luar itu ada ataupun apa. Maka eksistensi dan esensi merupakan unsur utama yang ada pada realitas baik dia diluar pahaman maupun ketika telah ada dalam pahaman.

Jika kita meneliti lebih dalam lagi kita akan menemukan bahwa sesungguhnya setiap realitas itu pastilah tersusun atas dua hal ini. Kenapa demikian? Karena pada dasarnya inilah hukum penciptaan TUHAN. Dan ketersusunan realitas menunjukkan bahwa realitas itu tidak dapat hadir dengan sendirinya. Karena setiap yang tersusun butuh kepada penyusun. Dan apabila realitas itu tersusun maka pada dasarnya realitas itu butuh kepada penyusun. Maka setiap yang tersusun merupakan akibat dari yang menyusunnya.

Kita dapat membuktikan hal ini jika kita memperhatikan segala realitas yang ada apapun bentuknya. Misalnya, ketika kita melihat sebuah botol kaca. Kita akan dapat mengetahui bahwa botol itu tersusun atas material kaca, bentuk (misalnya slinder), warna, memiliki kegunaan, dan meiliki keber-ada-an. Yang apabila salah satunya tidak ada maka botol tidak akan pernah tercipta sebagai botol. Misalnya botol tersebut tidak memiliki material maka mustahil bentuk itu bisa teraktual, karena bentuk pun merupakan sesuatu yang tidak bisa mengaktual tanpa adanya materi. Dalam hal ini bentuk tidak bisa teraktual dalam bentuk murni, dia butuh kepada materi agar dapat teraktual. Gabungan antara materi dan bentuk inilah yang disebut sebagai benda. Begitupun dengan materi, dia tidak dapat teraktual secara murni dan berdiri sendiri, dia pun butuh kepada bentuk agar dapat teraktualkan dalam wujud benda. Jadi botolpun tidak dapat hadir di realitas sebagai botol apabila dia tidak memiliki bentuk botol. Begitu juga dengan fungsi dan warna. Botol tidak akan pernah hadir di realitas apabila fungsi sebagai tempat penyimpanan air tidak pernah ada dan dia tidak memiliki warna apapun. Dan apabila botol tidak memiliki keber-ada-an maka segala sesuatunya tidak akan pernah ada. Baik itu unsur pembentuk botol dan botol itu sendiri. Karena unsur pembentuk botol pun merupakan sebuah hakekat lain yang bergantung pada keberadaan dan memiliki keapaan. Dan botol merupakan akibat dari bersatunya setiasp unsur- unsur yang menyusunnya.

Selasa, 22 Januari 2008

Suara hembusan ombak membawaku pada kerinduan akan sosokmu. Sang pahlawan yang membela keyakinan atas nama cinta dan kebenaran. Walaupun rekaman pendek berdurasi 80 menit bercerita tentang tragedimu…sangatlah tidak cukup untuk mengobati kerinduanku padamu. Kerinduan akan sosokmu yang dihianati oleh waktu. Yang dihianati oleh zaman dan berbagai macam kemurtadan. Samapai kau harus terbaring diatas debu dan mengiringi setiap anggota tubuhmu yang pergi meninggalkanmu dengan jeritan berdarah akan kerinduan pada-NYA.

Adegan itu…adegan penuh haru dan air mata.

Air mata yang tak seharusnya ditumpahkan oleh kelurgamu yang suci.

Air mata yang membungkam mulut langit

Air mata yang mengeluarkan iblis dari persembunyiannya

Air mata yang mengukirkan sejarahmu pada lembaran keabadian

Air mata kemenangan atas tegaknya kebenaran dan cinta.

Yang membuatku terbayang akan khafilahmu yang harus bercengkrama dengan haus. Khafilahmu yang harus meneteskan air mata untuk kerinduan akan sungai eufrat. Kesedihan mengenang khafilahmu yang harus menggali air untuk minum sedangkan sungai eufrat sedang dinikmati oleh anjing dan babi. Akan wanita- wanita yang harus meronta karena merelakan kepergianmu. Dan kepergian tentara langit yang tetap setia bersamamu. Dalam sebuah pertempuran yang tak seimbang…pertempuran yang penuh tipu daya. Pertempuran melawan keserakahan yang berkolaborasi dengan kemurtadan. Serta dendam sejak badar dan uhud. Pertempuran melawan 80.000 iblis yang berakhir saat seekor mahluk yang berwajah seperti anjing mencincang setiap anggota tubuhmu. Membuat langit dan seluruh dunia berduka…dan para malaikat telah berdiri di depan pintu langit menyambut kedatanganmu saat urat lehermu yang terakhir putus ditangan keserakahan dan kemurtadan.

Kini mataku yang hinapun meneteskan air mata…walaupun kau tak akan pernah menerimanya. Karena selama ini aku hanya bisa mengkalim diriku sebagai pecintamu. Sosok pahlawan abadi dan pemimpin tentara langit…

Dengan satu harapan kecil, akupun berdoa…

“semoga kau akan melihatku….”

(ALLAHUMMA SHOLLI ALAA MUHAMMAD WA ALI MUHAMAD)

ASY-SURA, 10 MUHARRAM 1429 H

Di tempat yang membenturkan rindu dengan tanggung jawab

Senja yang penuh kenangan. Membisikkan kata- kata rindu yang menggelitik kupingku. Tentang beberapa kenangan yang 7 jam lagi akan terulang. Diselingi cengkrama dua orang manusia kumuh yang segera menemaniku terbang meninggalkan tanah ini.

Aku adalah menusia dengan kekuatan batin diatas rata- rata manusia normal. Aku adalah oase di tengah gurun pasir yang siap memberi minum para musafir. Aku adalah bunga di tanah harapan yang dinanti leh para pemimpi. Dan aku adalah cinta yang menyejukkan setiap dahaga sang perindu.

Seketika itu pula setumpuk harapan dating menghantam kepalaku. Menumpahkan setiap sel- sel otakku ke tanah dan menjadikannya puing-puing. Bingung…??? Mungkin tinggal ini pertanyaan yang tersisa di kepalaku. Saat kepakan sayapku mulai bercengkrama dengan hembusan angin.

Setidaknya aku masih bisa berharap.

“Disana….aku bisa bertemu dengan TUHAN”

Mungkin ini jalan menuju surga…(17 januari 2008)

Perjalanan panjang antara surga dan dunia sebentar lagi akan kusapa. Diselingi cengkrama sayap dengan hembusan angin laut seakan mengatakan bahwa aku akan mengalami setumpuk perjalanan pahit yang belum terselesaikan. Sambil melihat senyuman wanita yang semalam kukecup keningnya semakin membuatku enggan untuk mengepakkan sayap dan terbang.

Tidak ada satu alas an pun yang dikatakan oleh orang disekitarku untuk membiarkanku pergi. Yang ada mereka hanya berusaha untuk mengisi kepalaku dengan berbagai alas an sehingga kakiku tidak melangkah pergi. Tetapi, sebentuk kesadaran rasional tiba- tiba datang. Dan memaksa setiap helai sayap untuk merekah dan terbang. Memberondong kepalaku dengan teriakan “ bahwa aku adalah manusia…”

Aku bukanlah TUHAN yang tidak butuh kepada ciptaannya. Aku bukan prima causa yang tidak merasakan efek dari setiap akibat. Aku bukan seorang suami yang harus memikirkan urusan rumah tangganya. Aku bukan seorang presiden yang mimikirkan bagaimana cara menekan jumlah kemiskinan di negaranya. Aku bukanlah pemimpi yang hanya bisa bermimpi tentang dunia tanpa harus tahu bagaimana cara untuk merubahnya.

Tapi aku adalah Manusia…aku adalah Khalifah-NYA dan aku harus bergerak menuju ke arah-NYA…

neraka bagi setiap nafsu…,21 Januari 2008

Semua tak tertahankan lagi…

Hancur…

Mengharapkan ego untuk menyusunnya kembali? Rasanya itu mustahil. Karena egolah yang telah mengahancurkannya.

Hancur…

Dan tak akan pernah ada lagi. Walaupun setumpuk harapan sempat bertahan di detik- detik terakhir. Namun ego tetaplah menghancurkannya. Menjadikannya sampah dan membuangnya di tempat yang satupun mata tak akan menemukannya.

Tak akan pernah kembali…

karena telingaku sudah muak mendengar ocehanmu. Muak mendengar kata-katamu yang menyuruhku untuk meruntuhkannya dengan dirinya sendiri.

Dan kini semua hancur…

Meskipun kau berharap melakukannya tanpa ada ikatan. Namun kau tak akan pernah mendapatkannya…

Karena semua telah hancur…

Dan hanya meninggalkan pertanyaan.

APAKAH KAU MELIHATKU ???

Neraka…, 15 Januari 2008

Dingin pun merayap masuk melalui celah- celah jendela itu…

Menyapaku…

Dengan kenangan tentang gerak- gerikmu

Tentang tawamu

Tentang senyummu

Tentang desah nafasmu

Tentang bisikanmu

Tentang caramu berjalan

Tentang caramu menatap

Tentang semangkuk bubur yang kau berikan padaku di pagi hari

Dan semakin dingin…

Membekukan semua tentangmu

Beku dan tak mencair

Makassar, 11 januari 2008; 09:34 am

4 my princess

Dingin pun merayap masuk melalui celah- celah jendela itu…

Menyapaku…

Dengan kenangan tentang gerak- gerikmu

Tentang tawamu

Tentang senyummu

Tentang desah nafasmu

Tentang bisikanmu

Tentang caramu berjalan

Tentang caramu menatap

Tentang semangkuk bubur yang kau berikan padaku di pagi hari

Dan semakin dingin…

Membekukan semua tentangmu

Beku dan tak mencair

Makassar, 11 januari 2008; 09:34 am

4 my princess

Aku ingin pulang…

Bukan karena aku benci tempat ini

Bukan karena aku tidak diterima disini

Bukan karena semalam aku menciummu

Bukan karena aku bosan melihat wajahmu

Tapi, aku ingin pulang…

Karena aku adalah MANUSIA

Dari kekecewaan, saat harus memilih antara nafsu dan tanggung jawab

21 Januari 2008